Manajemen Bencana untuk Indonesia

Sehubungan dengan rentetan bencana alam yang terjadi baru-baru ini di Indonesia, sejak banjir bandang di Wasior sampai dengan letusan gunung Merapi dan Tsunami di Mentawai yang terjadi hampir bersamaan, kita disuguhkan kembali tentang penanganan bencana yang kurang tertata dengan baik. Kita memang tidak pernah belajar dari kesalahan.

Penanganan bencana yang terjadi selama ini bersifat reaksioner dan tidak tertata dengan baik. Setiap satuan dari pemerintah dan NGO bergerak atas komando dan inisiatif masing-masing. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi front row dalam penanganan bencana justru lumpuh sebelum waktunya.

Belajar Dari Jepang

Jumlah korban tsunami di Aceh sebanyak 173. 981 jiwa seharusnya telah menyadarkan pemerintah tentang perlunya manajemen penangangan bencana yang terstruktur dalam rangka mengurangi dampak bencana yang terjadi. Pemerintah Jepang, dengan bencana Teluk Itse yang memakan korban 5.098 jiwa saja telah menyadari kesalahannya dan pada tahun 1961 menetapkan Undang-undang mengenai Pedoman Penanggulangan Bencana.

Undang-undang ini menyebutkan bahwa Perdana Menteri sebagai ketua, bertugas untuk memimpin badan Komite Penanggulangan Bencana Nasional. Anggota Komite terdiri atas seluruh menteri kabinet serta organisasi semi pemerintah yang berhubungan erat dengan bencana alam (anggota saat ini, Palang Merah Jepang, Bank Jepang, NHK, KDD). Komite ini merupakan badan koordinator pengendalian bencana tertinggi di tingkat pusat. Perdana Menteri dapat menunjuk BUMN seperti perusahaan listrik, gas, transportasi, dan komunikasi sebagai badan sosial yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana.

Ditegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melaporkan rencana dan langkah yang telah diambil didalam penanggulangan bencana pada setiap tahun fiskal kepada parlemen. Maka terbentuklah sistem yang membuat “bencana alam” sebagai bahan pembahasan penting bagi negara yang harus dibahas di parlemen sekalipun jumlah bencana alam yang terjadi tidak banyak pada tahun tesebut.

Tanggung jawab negara, ibu kota, pemerintah provinsi, kabupaten, kota dan desa, badan-badan sosial yang ditunjuk, penduduk, dan lain-lain menjadi jelas. Pihak-pihak yang berkepentingan ini diwajibkan untuk menyusun rencana penanggulangan bencana.

Pada bulan Januari 1995, terjadi gempa bumi berkekuatan 7,3 skala richter di Hanshin dan Awaji. Tercatat jumlah korban bencana ini mencapai angka 6.437 jiwa. Gedung Pemkot Kobe setinggi 6 lantai porak poranda. Polisi dan petugas pemadam kebakaran yang berada di garda depan penanggulangan terlambat datang ke lokasi bencana karena markas yang seharusnya menjadi pusat komando bencana dan para pemimpinnya ikut menjadi korban.

Dalam UU tentang Pedoman Kebijakan Penanggulangan Bencana ditetapkan pada dasarnya penangggulangan bencana bersifat bottom—up. Aparat desa adalah perangkat pemerintah yang pertama kali harus menanggulangi bencana. Apabila penanganan bencana jauh di luar kemampuan aparat desa, maka bencana akan ditangggulangi oleh pemerintah ibu kota dan provinsi. Permasalahnya, ketika kota mengalami kerusakan, maka fungsinya sebagai pusat penanggulangan bencana tidak dapat dijalankan.

Berdasarkan pengalaman tersebut, pada bulan Desember tahun 1995 dilakukan revisi UU tentang Pedoman Kebijakan Penanggulangan Bencana. Ketika bencana luar biasa besar melanda, Perdana Menteri dapat langsung membentuk Pusat Penanggulangan Bencana Darurat meskipun tidak ada pengumuman darurat bencana. Perdana menteri juga dapat langsung menurunkan perintah kepada kepala instansi pemerintah yang telah ditunjuk sebelumnya.

Fakta membuktikan bahwa 80% dari korban meninggal akibat tertimpa bangunan. Oleh sebab itu di Jepang tumbuh kesadaran akan pentingnya Pencegahan dini bencana. Untuk menekan jumlah korban gempa, bangunan wajib dibuat dengan konstruksi tahan gempa. Saat ini pun, di Jepang terus diupayakan dengan cepat untuk menambah kekuatan konstruksi rumah dan fasilitas sosial.

Di Jepang, dengan dipimpin langsung oleh Perdana Menteri, setiap tahunnya dilakukan latihan evakuasi secara menyeluruh. Kesadaran akan penanggulangan bencana menjadi demikian tinggi di kalangan instansi, organisasi juga di kalangan penduduk. Mengacu pada undang-undang tersebut, tanggal 1 September telah ditunjuk sebagai Hari Pencegahan Bencana. Selama Minggu Reduksi Bencana yang berpusat pada hari tersebut, lebih dari 3,5 juta orang Jepang, termasuk Perdana Menteri, ikut serta dalam latihan-latihan kesiapan menghadapi bencana yang diadakan oleh seluruh warga negara Jepang.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008. Sebelumnya badan ini bernama Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005, menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001.

Struktur BNPB :

  • Kepala (Dr. Syamsul Ma’arif, S.IP, M.Si sejak tahun 2008)
  • Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana
    • 10 orang pejabat pemerintah eselon 1
    • 9 orang anggota masyarakat profesional
  • Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana
    • Sekretariat Utama
    • Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan
    • Deputi Bidang Penanganan Darurat
    • Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi
    • Deputi Bidang Logistik dan Peralatan
    • Inspektorat Utama
    • Pusat
    • Unit Pelaksana Teknis

Selain itu, juga dibentuk struktur BNPB tingkat Propinsi, dan Kabupaten/Kota

Selain itu, pemerintah dan sejumlah pihak terkait juga telah mengapungkan wacana untuk melahirkan kebijakan Asuransi Bencana.

VIVAnews – Wacana untuk menggulirkan asuransi bencana masih terus dipelajari. Asuransi itu yang banyak diterapkan di negara maju itu akan memberikan manfaat dari risiko khusus seperti bencana.

"Yang harus dipelajari dengan baik adalah bagaimana sistemnya, preminya, pengelolaan risikonya, dan bagaimana pencairannya kalau seandainya bencana itu terjadi," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo usai peringatan Hari Keuangan ke-64 di Plaza Barat, Senayan, Jakarta, Minggu 31 Oktober 2010.

Menurut dia, untuk mendukung program asuransi bencana itu, perusahaan reasuransi yang dilibatkan harus perusahaan besar dan mempunyai kemampuan keuangan yang baik. "Jangan sampai nanti kalau terjadi musibah bencana tidak bisa diklaim," tuturnya.
Dia menilai, di saat banyak bencana di dalam negeri, premi asuransi bencana diperkirakan bisa mahal. Kondisi itu yang membuat pemerintah akan mengkaji lebih lanjut.

Agus tidak menampik kemungkinan asuransi bencana itu akan dilakukan oleh konsorsium yang terdiri atas sejumlah perusahaan asuransi. "Ya bisa saja. Tapi tetap saja konsorsium itu jumlahnya banyak dan risiko juga cukup besar," tuturnya.
Sebelumnya, usulan Menkeu Agus Martowardojo itu juga direspons positif pelaku industri asuransi. "Kami sangat senang kalau pemerintah akan mewujudkan itu (asuransi bencana)," kata Presiden Direktur PT Asuransi Maipark Indonesia, Frans Y Sahusilawane ketika dihubungi VIVAnews, belum lama ini.

Asuransi Maipark Indonesia adalah asuransi yang menangani risiko khusus seperti gempa bumi. Perusahaan ini merupakan hasil kerja sama industri asuransi di Indonesia.

Dalam usulannya kepada pemerintah, asuransi bencana harus melibatkan seluruh pelaku di industri asuransi di dalam negeri. Perusahaan reasuransi yang dilibatkan adalah perusahaan di luar negeri yang memiliki reputasi besar. "Jadi, ini (asuransi bencana) akan aman karena perusahaan reasuransi besar dunia juga siap mendukung," katanya.

Apapun kebijakan yang nanti diterapkan oleh pemerintah, implementasi adalah kunci dari segalanya. Setumpuk peraturan dan undang-undang tidak akan berarti tanpa adanya konsistensi dari pelaksanaan konsep yang telah dirancang. Kita harapkan bahwa kejadian bencana kali ini benar-benar memberi pelajaran yang berarti bagi kita dan kita tidak melulu melemparkan kesalahan pada pihak lain.

Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris II Kedubes Jepang untuk Indonesia, Takeshihi Muronaga, tahun 2006 lalu, kita tidak dapat mencegah terjadinya badai dan gempa bumi. Kewajiban kita adalah berusaha menekan dan terus menekan agar jumlah korban terus berkurang dari satu bencana ke bencana berikutnya.

(Akhiruddin Panyalai, dari berbagai sumber)